Barong Landung Dalam Seni Pertunjukan
Legenda Barong Landung sebagai perwujudan dari Raja Jaya Pangus dan Kang Ching Wie terkait dengan Sejarah Bali Kuna, yang menyebutkan tentang seorang raja yang bertahta di Balingkang bernama Jaya Pangus. Menurut prasasti Buwahan, Jaya Pangus bertahta di Balingkang pada tahun 1181-1204 Masehi. Beliau meninggalkan sebanyak 30 buah prasasti dan ini memberi indikasi bahwa beliau adalah seorang raja besar dan memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Hubungan antara Bali dengan Cina yang dimulai pada kejayaan dinasti Tang (618-906 Masehi) diteruskan pada dinasti Chung atau dinasti Song (960-995 Masehi).
Hubungan internasional Cina juga diperluas setelah berkuasanya dinasti Genghis Khan (1162-1227) dan cucunya yang bernama Kubilai Khan (1215-1294) membuka kota Beijing sebagai Silk Road, kota itu dikunjungi oleh pedagang seluruh dunia dan memperluas pelayaran Cina ke Eropa lewat Indonesia dan India. Perahu-perahu Cina berlayar melalui Kalimantan, Bali, Jawa, Sumatera dan akhirnya menyeberang ke Orisa (India Timur) untuk seterusnya berlayar ke Eropa. P’oli yang dilaporkan oleh ahli sejarah Laufer sebagai pulau indah yang dikunjungi pedagang Cina sejak dinasti Tang ada kemungkinan pulau Bali yang diucapkan poli oleh para pedagang Cina itu. P’oli dinyatakan tempatnya di sebelah selatan pulau Kalimantan.
Kini, di Pura Panarajon di atas bukit Penulisan Kintamani terdapat sepasang area perwujudan suami istri yang dibuat terpisah tempatnya. Area pria ikonografinya menyerupai orang Bali Aga, sedangkan area wanita profilnya seperti putri Cina.
Orang-orang Cina yang tinggal di sekitar daerah Batur dan Kintamani menyebut area wanita itu sebagai Ratu Chung Kang dan disembah oleh komunitas Cina dan Bali yang bertempat tinggal di sekitar Batur dan Kintamani.
Ratu Chung Kang diartikan sebagai putri dari dinasti Chung (Song) di Cina yang berkuasa mulai abad ke-l0. Penyebaran komunitas Cina dengan berbagai warga dinasti tentu terus berkembang sampai dinasti-dinasti sesudahnya, bahkan sampai masa kini Peninggalan berupa guci, piring, vas bunga yang berhiaskan naga-naga dari dinasti Ming (1368-1644) masih banyak ditemukan di Kalimantan dan Bali.
Pura-pura, tempat persembahyangan di Bali banyak hiasannya dibuat dari piring-piring bermotif Cina dari dinasti Ming. Guci-guci besar yang masih dimiliki oleh suku-suku Dayak Modang dan Dayak Kenyah di sepanjang sungai Mahakam, KalimantanTimur disebutnya sebagai guci Mihing. Guci-guci yang berhiaskan naga-naga itu digunakan untuk upacara perkawinan atau upacara kematian. Disamping adanya guci-guci itu, di Kalimantan dan Bali masih terdapat gong-gong tanpa pencon yang diduga datangnya dari Cina Selatan. Gong-gong tanpa pencon itu di Kalimantan disebut mahbeng, dan di Bali disebut gong bheri.
Salah satu ansambel Gong Bheri yang disakralkan oleh pemiliknya terdapat di desa Renon, Sanur. Ansambel itu digunakan untuk mengiringi tari Baris Cina, sebuah jenis tari ritual yang menggunakan senjata pedang dan tarinya berupa untao, pencak silat Cina. Bilamana terjadi kerawuhan (trance) para penari Baris Cina itu berucap dalam bahasa Cina yang tak dimengerti oleh orang Bali.
Menurat penjelasan para pengemong Pura Balingkang yang berasal dari desa Pinggan bahwa Pura Panarajon yang terletak di puncak bukit Penulisan memiliki hubungan yang erat dengan Pura Balingkang.
Masyarakat pangemong itu menyatakan bahwa Pura Panarajon adalah hulu dari Pura Balingkang yang menjadi tempat pemujaan Raja Jaya Pangus yang pernah bertahta di Dalem Balingkang. Hubungan intim antara Pura Panarajon dan Pura Balingkang memberi pula indikasi bahwa keraton Panarajon yang berpusat di bukit Penulisan akhirnya berpindah ke Balingkang karena adanya malapetaka yang disebabkan angin taifun, sambaran petir dan kilat yang mengakibatkan hancurnya keraton Panarajon seperti yang termuat dalam legenda Dalem Balingkang.
Di dalam Pura Balingkang sampai sekarang masih dijumpai sebuah batu peninggalan zaman Megalithic yang berbetuk bulat dan di dalamnya terbelah menjadi dua bagian menyerupai bentuk vagina.
Oleh masyarakat setempat batu vagina itu dianggap sebagai ikon dari Ratu Subandar, sebuah nama kehormatan yang diberikan kepada Dewi Kang Ching Wie. Sudah dijelaskan di atas bahwa Ratu Subandar masih dijadikan simbol dunia perdagangan bagi orang Bali masa kini.
Pada tahun 1986 Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI — kini ISI Denpasar) mementaskan Barong Landung dalam Sebuah garapan seni cukup kolosal. Baiong Landung telah memberi inspirasi yang kuat kepada seniman-seniman di lingkungan ISI Denpasar untuk mengungkap ulang sejarah lahirnya Barong Landung dalam sebuah garapan tari dan musik. Pengungkit dari munculnya garapan itu adalah Festival Walter Spies yang dirancang oleh A.A. Made Djelantik dan penulis sendiri (I Made Bandem), Ketua dan Sekretanis Yayasan Walter Spies saat itu.
Untuk mélengkapi pementasan itu, Ida Bagus Anom, seorang sangging ternama dari Desa Mas, Gianyar diminta untuk membuat beberapa buah topeng Cina dan topeng Bali untuk menghubungkan peristiwa sejarah masa lalu dengan negeri Cina. Saudagar dan Kang Ching Wie dibuat dalam bentuk topeng manis ala Cina, sedangkan Jaya Pangus, Dewi Danu, Dayang-dayang, dan Bhatari Batur dibuat topeng berparas Bali kuna. Penatatari pementasan itu adalah Swasthi Wijaya dan I Nyoman Catra, sedangkan penata tabuh-nya adalah I Nyoman Windha.
Penulis ketika memimpin kelompok seni Makaradhwaja yang mengadakan pementasan di Montpellier Prancis Selatan pada Mei-Juni 2008 berhasil menciptakan tari barru dalam wujud kreasi kebyar dengan tema “Kang Ching Wie”. Garapan yang berdurasi 17 menit akhirnya dipentaskan pada tanggal 18 Juli 2008. Kreasi itu dibuat tanpa topeng, kecuali kedua tokoh Barong Landung itu. Takoh Barong Landung yang biasanya dipentaskan dangan boneka besar kini dijadikan topeng-topeng kecil model Topeng Babad. Dengan demikian tari topeng barong landung itu bisa diragakan secara lebih bebas menirukan gerak boneka barong landung yang asli.
Karena sifatnya sebagai sebuah legenda ceritera lahirnya Barong Landung ini diyakini memiliki kebenaran sendiri karena dia mampu mengintegrasikan pengalaman seseorang dengan asumsi yang lebih luas tentang kehidupan masyarakat, kehidupan para leluhur, dan kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Legenda ini memiliki tema antara lain hubungan antara Bali dan negeri Tirai Bambu, percintaan antara Raja Jaya Pangus dan Kang Ching Wie, kaitan antara Leong (Naga) dan Barong, dan sinkritisme antara agama Hindu dan Budha di Bali. Ternyata multikultur, melting pot society ala Amenika Serikat sudah lahir lama di Bali. [I Made Bandem].
Balipost